Bab 11 Itali – Markas Matteo

by Lizbeth Lee 14:20,Oct 20,2023
Sesampainya di Italy, mereka berjalan menuju ke atas Gunung sebuah desa bernama Samo and Precacore. Yah, desa ini adalah Desa pilihan di mana Matteo membuat sebuah markas yang cukup besar.
Dengan tembok keliling setinggi tiga meter, serta pos jaga di setiap sudutnya, ditambah dengan lampur mercusuar seperti di pantai yang akan selalu menyala jika matahari mulai tenggelam.

Melihat ketatnya pengamanan di Markas milik Matteo, Paul cukup tercengang hingga mulutnya melongo dengan lebar. “Aku akan membuatkan kalian rumah dengan fasilitas safe house dan segala kebutuhan darurat yang dibutuhkan. Jika kalian ingin privasi, kalian bisa memilih di mana tempatnya, asalkan tidak keluar dari Negara Italy. Tapi untuk sementara sampai semuanya aman dan sampai kedua orang tua Tommy di tangan kita. Maka, kalian tidak akan kemana-mana, okay Paul?” tanya Matteo dengan tegas dan kata-kata ‘tidak akan kemana-mana’ diucapkan dengan intonasi yang lebih penuh penekanan.

“Iyah ... iyah ... tapi, bagaimana dengan semua bisnisku, Matteo?” Paul cukup setres karena tidak boleh memakai ponsel pintar dan bahkan laptopnya.

“Setelah semua perangkat laptop dan ponsel serta yang lainnya aku ganti, barulah kau bisa melakukan segala sesuatunya, untuk sementara percayakan semuanya dulu kepada CEO mu. Bukankah kau pemiliknya Paul, dan bukankah CEO mu itu sudah bekerja sejak kau belajar untuk cebok? Jadi sudahlah jangan terlalu dipikirkan,” ucap Matteo dengan jengah.

“Sialan, kau Matteo,” kekeh Paul, Matteo hanya tersenyum kecil melihat wajah merah adiknya.

“Beri aku satu kali dua empat jam untuk mengganti semua perangkat lunak dan semua perangkat keras di semua perusahaanmu,” ijin Matteo.

“Apa, Kau bisa melakukannya?” tanya Paul heran.

“Hemmm, sekarang turunlah, aku sedang menunggu kabar dari Tommy, juga dari Tadashi yang sedang menyelamatkan kedua orang tua Tommy,” ucap Matteo lalu membuka pintu dan jalan melenggang tanpa beban.

Ia menoleh kebelakang, melihat bagaimana Claudia sangat ketakutan saat ia mengedarkan pandangannya ke seluruh arah. Ia bergidik saat tau ada banyak orang memegang senjata laras panjang, sebuah pikiran melintas di otaknya. “Jangan coba-coba lari dari sini, jika kau punya pikiran untuk berlari, bahkan hanya memiliki niat memikirkannya saja, akan kupastikan, mata dan otak mu sudah akan kececer di tanah,” desis Matteo menatap tajam Claudia.

Sebuah ancaman yang terlontar dari bibir seksi Matteo membuat Claudia sangat ketakutan. Keringat dingin kembali keluar sebesar biji jagung, kakinya tak sanggup lagi melangkah kedalam sebuah rumah mewah yang lebih mirip dengan mansion. Tempat Matteo ini padahal, semewah rumah milik orang tuanya di Athena, tapi tetap saja, tidak ada rasa aman dan nyaman dalam diri Claudia. Semakin dilihat dengan tatapan tajam oleh Matteo, semakin kaki Claudia lemah seperti kaki gurita yang tak lagi bertulang.

Merasa berjalan dengan semangat dan sadar bahwa ada yang tertinggal di belakang, Paul sontak keluar lagi dari Mansion. Ia melihat Claudia berdiri sambil menatap bahu Matteo yang berjalan mendekati pintu tanpa beban. Paul menautkan alisnya heran melihat wanita yang ditebusnya berdiri dengan wajah pucat.

“Laudia, sini. Kamu ngapain berdiri di sana terus?” panggil Paul menahan tawa, Paul juga menaruh curiga kepada Matteo, karena dia tau Matteo terkadang sangat usil.

“Apa yang kau katakan kepadanya sampai dia mematung di sana Matteo?” tanya Paul santai namun menyelidik kepada kakaknya, yang ditanya hanya menggendikkan bahu dan berlalu begitu saja. Lalu ketika dia baru saja melangkahi lima anak tangga barulah dia menjawab pertanyaan Paul.

“Aku hanya memberikan ucapan selamat datang kepadanya, tidak lebih dan tidak kurang,” ucap Matteo sambil berlalu, dan sedikit menyunggingkan senyumannya karena merasa lucu melihat wajah Claudia yang ketakutan seperti tadi.

“You Fucking ass hole, Matteo!” maki Paul yang disambut dengan gelak tawa oleh Matteo, Paul lalu kembali keluar dan menenangkan Claudia yang masih saja tegang dan ketakutan.

“Ayo masuklah, aku akan mengantarmu ke kamar yah. Jangan takut, Matteo memang orang yang dingin tapi dia suka bercanda. Apa, kau kelelahan?” tanya Paul kepada Claudia. Namun, Claudia tampaknya masih trauma, ia langsung mundur beberapa langkah membuat Paul tidak lagi memaksanya untuk masuk.

“Yah sudah, aku tidak akan menggandeng atau memegangmu, kamu bisa jalan duluan. Silahkan Claudia,” ucap Paul sambil mengikuti Claudia dari belakang, dan semua itu tidak terlepas dari pandangan Matteo di atas balkon kamarnya.

***

Berbagai macam alat yang tak biasa tersusun rapi di meja panjang membuat Casandra sudah kesusahan dalam bernafas, Ia merapalkan doa berkali-kali agar segera ditembak saja dari pada harus dihabisi dengan penuh penyiksaan seperti ini. Ia kembali menggelengkan kepalanya dan menangis sejadi-jadinya.

“Casandra, bukankah menyiksa orang adalah hobimu? Apakah kau lupa bagaimana saat adikku kau siksa dan kau biarkan dia mati dengan cara yang lama? Kini giliranmu, aku akan berbaik hati untuk menuntaskan semuanya hari ini juga,” bisik Tommy sangat pelan hingga membuat Nyonya Besar dan Yoshiro tidak dapat mendengarnya dari balik kaca tersebut.

“EHM!EHM!” teriak Casandra begitu ketakutkan.

Tommy memilih sebuah mesin bor yang biasa digunakan untuk memasang paku atau baut di tembok. Melihat itu Casandra kembali berteriak sambil menangis, dan tempurung lutut adalah pilihan pertama Tommy. Iya menusuk lutut Casandra dengan mesin bor, hingga membuat darah mucrat kesana kemari, suara teriakan Casandra menggema tidak karuhan, suara itu sungguh memiluhkan.
Namun bagi Nyonya Besar, itu adalah suara terindah di kala hasratnya merasa begitu haus akan darah orang yang dianggap tidak berguna. “HEM! Hu ... hu ... hu ....” Lagi-lagi Casandra menangis histeris.

Bukan hanya menangis tapi tubuhnya gemetar menahan rasa sakit yang luar biasa hingga ke pinggang, tanpa menunggu lama Tommy kembali melakukan hal yang sama untuk kaki kirinya, lutut kiri Casandra juga kembali dibor hingga tembus. Semua itu sebenarnya membuatnya ingin muntah tapi, Tommy tidak memiliki pilihan lain selain terus menahan perasaannya.

Seluruh wajah Tommy mulai terlihat merah akibat darah yang muncrat kesana kemari.

“Bagaimana rasanya? Hah? Aku penasaran, jika lututmu sudah hancur seperti ini. Bagaimana kalau aku melubangi telapak kakimu itu, apa kau juga masih merasakan sakit, Casandra?” tanya Tommy dengan menyeringai.

“Aku suka dia Yoshiro,” ucap Nyonya Besar sambil menunjuk Tommy kepada Yoshiro, dan Yoshiro mejawab dengan senyuman datar sambil menunduk.

“HEM! HEM!”

“Oh, masih sakit to?” kekeh Tommy.

“Casandra, bagaimana jika lidahmu yang kini akan ku potong? Bukankah lidah mu itu suka sekali mengumpat anak buah, dan tentu berbohong demi keuntunganmu sendiri??” Tommy seolah kembali meneror Casandra yang sudah menahan rasa sakit di luar batas kemampuannya.

Casandra hanya bisa menggeleng lemas, lalu dengan cepat Tommy membuka isolasi lakban dari mulut wanita yang sedang duduk di kursi penyiksaan ini. Ia mengikat kepala Casandra untuk bersadar di kepala kursi dan membuka mulut wanita itu menggunakan alat penyangga khusus yang biasa digunakan oleh dokter gigi saat mengoperasi pasiennya.

Lalu Tommy menarik paksa lidah Casandra dan mengambil gunting yang begitu tajam. Mulut Casandra sudah mengeluarkan darah yang begitu banyak hingga membuatnya kejang-kejang karena kesakitan dan pingsan saat itu juga.

Dengan langkah tegap Tommy mengambil air mineral dan meminumnya, dia sadar jika apa pun yang dilakukannya saat ini semua di bawah pengawasan sang Nyonya Besar. Tentu saja Tommy sadar dan sadar jika dirinya harus mampu menghibur Nyonya Besar dengan cara yang tidak biasa agar tetap hidup sambil mengulur waktu sampai kedua orang tuanya aman.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

128