Bab 6 Part 6. Kisah Lastri Tragedi berkedok ritual

by Neng Gemoy 21:59,Dec 05,2023
Tanpa berpikir panjang aku berlari ke dalam kamar tempat Mbak Wati, aku membuka pintu dengan keras dan melihat Mbak Wati masih tertidur nyenyak, tidak ada orang lain di kamar. Ternhata Mbak Wati hanya mengingau, aku menarik nafas lega. Perlahan aku menutup pintu kembali ke depan.
"Ada apa, Mas? Pasti Mbaknya mengigau sehabis perjalanan jauh, capek." tanya ibu warung yang langsung kuiyakan. Aku segera menghabiskan nasi dalam piring yang sudah dingin, dalam sekejap semuanya habis berpindah ke dalam perutku.
Setelah semua isi piring berpundah ke dalam perutku, ternyata ibu warung sjdah tidak ada, tinggal Lastri yang kulihat sedang duduk di teras sambil merokok. Aku membawa gelas kopi ke luar menemanj Lastri, lumayan ada teman ngobrol, terlebih aku sangan penasaran dengan orang yang bernama Pakde Karwo.
"Ko sendirian, Mbak ? Ibu warung ke mana ?" Tanyaku sekedar basa basi karena melihatnya duduk sendirian. Aku merasa aneh dengan keadaanku, biasanya aku paling takut mendekati seorang gadis. Entah kenapa sekarang rasa percaya diriku muncul tanpa kusadari sehingga berani mendekati Lastri dan duduk di sampingnya.
"Ibu paling juga tidur, sudah jam.10 malam." katanya sambil menghisap rokok filter yang sejak tadi dipermainkannya.
"Kamu sendiri kenapa belum, tidur?" tanyaku heran, semalam ini Lastri lebih memilih duduk sendiri di luar sementara sekeliling kami sudah sangat sepi, hanya terdengar suara binatang malam, udarapun semakin dingin saja
"Gak bisa tidur, kangen orang tuaku." jawab Lastri tanpa menoleh ke arahku, dia begitu asik dengan pikirannya sendiri.
"Orang tua kamu tinggal di man?" tanyaku.
"Di Semarang." jawab Lastri singkat.
"Kenapa kamu belum tidur?" tanyaku melihat Lastri yang terus menghisap rokoknya tanpa berhenti, terlihat jelas kegelisahannya.
"Gak bisa, tidur. Biasanya aku tidur jam dua." jawab Lastri, dia bicara tanpa menatap wajahku sama sekali.
"Mbak'e kecapean ritual nikmat, kali, sampai ngigo begitu. Suaranya kenceng banget." kata Lastri. Keceriaannya yang sempat kulihat dan godaannya hilang. Matanya menerawang ke tempat gelap.
"Emang kamu kenal di mana?" Tanya Lastri lagi, tangannya diletakkan di atas pahaku. Seolah hal itu sudah biasa dilakukannya.
"Kami tetangga di Bogor. Suami Mbak Wati teman satu tempat kerja, jualan mie ayam keliling. Kalo Mbak Wati, jualan jamu gendong." aku menerangkan pekerjaanku sambil menatap jemari lentik Lastri yang berada di atas pahaku. Aku ingin memegang tangannya, tapi aku tidak mempunyai cukup keberanian untuk melakukannya.
"Tadinya aku ke sini mau ritual seperti kalian, tapi setelah melakukan tiga kali ritual tanpa menunjukkan hasil, akhirnya aku memilih tinggal di sini, menjual diri untuk mereka yang belum punya pasangan." kata Lastri menarik nafas panjang.
"Maksud kamu, kamu...?" aku tidak berani meneruskan pertanyaanku, takut menyinggung perasaannya.
"Ya, aku jadi PSK di sini." jawab Lastri tenang.
"Maaf..!" kataku merasa besalah.
"Suaminya tau gak, kalian ke Gunung Kemukus, ?" tanya Lastri msngabaikan permintaan maafku, tangannya mengelus pahaku, sebuah godaan yang membuat kontolku mengeras.
"Tau, malah suaminya yang nyuruh, pengen cepet kaya katanya. Mbak sendiri, dari mana ? Pengen cepet kaya, juga ?"Tanyaku berusaha mengabaikan tangan Lastri yang terus mengelus pahaku. Gadis ini PSK, aku gak punya cukup uang untuk mengajaknya ngentot. Lagi pula ada memek gratis yang bisa bebas aku entot, buat apa nyari memek lain yang pastinya akan menguras isi dompetku, padahal aku sudah susah payah mengumpulkannya untuk aku kirim ke Ibuku.
Hening, Lastri mempermainkan jarinya, gelisah. Entah apa yang dipikirkannya. Kembali dia mengambil sebatang rokok milikku, aku segera menyalakan korek membantu Lastri menyalakan rokoknya. Lastri menghisap rokok yang sudah terbakar ujungnya, dihembuskannya asap rokok yang langsung buyar diterpa angin. Pemandangan yang sangat menyentuh.
"Jangan panggil, Mbak. Umurku baru 18 tahun. Namaku Lastri, dari Semarang. Sudah 18 bulan aku di sini."jawab, Lastri lirih. Dihisapnya rokok seolah ingin mengusir kegelisahannya.
"Kok kamu bisa ke sini?" tanyaku heran, gadis secantik ini bisa menjadi penghuni lokalisasi tempat ini, melayani para peziarah yang datang untuk memenuhi syarat ritual. Aku mulai meragukan kesakralan tempat ini.
"Aku ke sini gara gara diusir orang tuaku, bingung mau ke mana. Ada yang ngajak aku ke sini.!" kata Lastri kembali menghisap rokok, asapnya menerpa wajahku.
"Cewek apa cowok yang ngajak kamu ke sini?" tanyaku semakin berani bertanya, hal yang tidak pernah aku lakukan. Berbicara berdua dengan seorang wanita. Ini salah satu hasil yang mungkin aku dapatkan dari Gunung Kemukus, sebuah kemajuan. Keberanian yang tumbuh seiring pengalamanku yang bebas menikmati tubuh Mbak Wati tanpa rasa takut.
"Cowok, aku diusir gara gara hamil setelah diperkosa oleh teman temanku." kata Lastri lirih. Dihisapnya rokok yang tinggal setengah batang, seolah asap rokok akan menghilangkan semua keresahan yang membelenggu. Atau rokok dijadikannya pelarian atas semua deritanya.
"Terus...?" tanyaku iba dengan derita gadis cantik yang tiba tiba menyandarkan kepalanya di bahuku seolah dia sedang mencari sandaran yang menopangnya untuk tetap tegak. Sandaran yang tidak didapatkannya dari kedua orang tua yang sudah mengusirnya karena dirinya dianggap aib buat keluarga.
_____________________
Kisahpun dimulai.
"Dua tahun yang lalu, sepulang sekolah aku ke rumah teman untuk belajar kelompok yang terdiri dari lima orang. Tiga di antara kami cowok. Di situlah awal petaka terjadi, ternyata mereka sudah merencanakan perbuatan keji. Mereka sudah mencampurkan obat perangsang dalam minumanku. Setelah minum air yang disuguhkan oleh Dina, aku merasakan sesuatu yang aneh pada diriku, aku sangat gelisah, Aku tidak tahu perasaan apa yang sedang kurasakan tiba memekku berdenyut aneh, aku jadi sangat bergairah, gairah yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
" Don, kamu ngapain? Kita lagi belajar, kelompok..!" kataku melihat Dona dan Parto berciuman disaat kami sedang belajar kelompok, padahal setahuku mereka tidak berpacaran. Memang, Dona terkenal sebagai perek ( Perempuan eksprimen ). Istilah Perek pada tahun 90 memang sangat terkenal, sebuah gaya hidup karena melakukan ekprimen meniru kebebasan orang orang barat yang menganggap sex sebagai gaya hidup, mereka bersedia melakukannya bukan karena uang, melainkan sebuah kebanggaan. Bahkan aku pernah memergoki Dona sedang digrepe oleh tiga orang cowok di belakang sekolah.
"Memekku gatel nich, sudah seminggu belum disodok kontol." jawab Dona santai. Tanganya meraba selangkangan Parto membuatku terkejut, ternyata Dona benar benar perek yang menjadikan tubuhnya bahan praktek buat teman teman cowok yang ingin mengetahui tubuh wanita tanpa menyewa seorang PSK.
Melihat adegan yang yerjadi di depanku, membuat tubuhku semakin panas, ada dorongan aneh, tubuhku sangat ingin dijamah, memekku berkedut kedut membuat bulu bulu halus di tubuhku bangun.
Aku terus melihat ke arah Dona tanpa berkedit, apa yang akan dilakukannya, tidakkah dia takut kedua orang tuanya pulang.
"Santai aja Las,. Ada aku kok..!" kata Herman, tiba tiba dia memelukku tanpa permisi. Reflek aku mendorong tubuhnya, menghidar dari mulutnya yang bau rokok. Tapi tenaga Herman lebih besar dari pada aku, dia memelukku semakin erat dan berhasil mencium bibirku.
Sekuat apapun aku berusaha merpnta, tenaga Herman lebih besar hingga akhirnya aku menyerah kalah.
"Las, kamu kalau sudah ngerasain kontol pasti ketagihan." kata Dona tertawa melihatku berusaha berontak dari Herman. Sekilas aku melihat Dona yang sudah tidak memakai baju, payudaranya yang baru tumbuh dihisap oleh Andi dan Parto membuat mataku terbelalak, tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Sesaat kewaspadaanku hilang dan itu dimanfaatkan oleh Herman yang memasukkan tangannya ke bajuku dan meremas payudaraku yang masih terbungkus BH. Aneh, rasanya lumayan enak, geli geli sakit karena Herman meremas payudaraku dengan keras.
Aku tidak bisa berteriak karena mulutku tersumpal mulut Herman, aku mulai terhanyut oleh permainannya, perlakuan kasar Herman justru membuatku semakin bergairah. Perlawananku mulai mengendur, bahkan aku seperti kerbau yang dicucuk hidung saat Herman dengan leluasa melepaskan kaos yang aku pakai dan juga BHku terlepas oleh Herman yang semakin merasa diatas angin. Dia dengan leluasa membenamkan wajahnya di payudaraku yang putingnya sudah mulai mengeras akibat pengaruh obat perangsang dan rangsangan yang dilakukannya.
"Parto, buru masukin kontol kamu. Memekku sudah gatel..!" kata Dona membuatku menoleh ke arahnya yang terlentang di lantai dengan kaki mengangkang. Sejak kapan Dona bugil? Tubuhku semakin panas, birahiku semakin tidak terkendali.
"Buka celanamu, ya Las..!" kata Herman mendorong tubuhku sehingga aku jatuh terlentang, Herman menarik rok dan juga CDku sekaligus. Gila, aku seperti terhipnotis sehingga aku tidak berusah mencegah apa yang dilakukan Herman.
Bahkan ketika Herman dengan kasar membuka lebar kakiku.
"Herman, mau apa?" tanyaku lemah, tenagaku seperti hilang. Kepalaku terangkat melihat Herman membenamkan wajahnya di selangkanganku. Tubuhku mengejang saat lidah Herman menyentuh memek perawanku, menjilati dengan rakus seperti dia menjilati es cream.
"Hermannnnnn...!" jeritanku terdengar lemah, rasa nikmat membuat tubuhku mengejang tidak terkendali. Hingga aku merasakan sesuatu yang sangat nikmak yang berpusat dari memek membuatku mengejang dan tidak mampu menahan teriakanku yang bisa saja terdengar hingga luar. Tubuhku lemas setelah meraih kenikmatan yang sangat dahsat sehingga tidak menyadaei Herman sudah berada di atas tubuhku.
"Aduhhhhh sakitttt....!" aku berusaha mendorong tubuh Herman, ada sesuatu yang berusaha masuk memekku, terlambat kontol Herman berhasil merobek selaput daraku. Aku tidak pernah menyangka, keperawanan ku hilang dengan cara seperti ini oleh temanku sendiri, bukan oleh pria yang kucintai.
“Man, untung apa lu dapat perawan nya Lastri..!” seru Andi yang kontolnya sedang disepong Dona, dia menatap iri keberuntungan Andi yang mendapatkan perawanku. Perawan yang seharusnya kuserahkan kepada suami atau kekasihku. Benar benar biadab pria yang sedang memompa memekku, kontolnya bergerak semakin cepat seiring dengan rasa nikmat yang membuat tubuhku menggeliat.
“Enak Las ngentot?” tanya Dona yang menungging sementara Andi mendapatkan jatah ngentot memeknya sementara Parto berganti posisi kontolnya disepong Dona, benar benar maniak temanku itu padahal usianya baru 15 tahun.
“Aduhhh, sakitttt..!” kataku berbohong, aku malu mengakui di hadapan mereka bahwa aku sedang menikmati sodokan kontol Herman yang semakin cepat, memekku yang sudah sangat basah mempermudah gerakkan kontol Herman.
Mendengar rintihan kesakitanku, Herman semakin mempercepat ebtotannya sehingga terdengar bunyi yang menurutku lucu dari memekku yang sangat basah.
“Akkku kelllluar...! “ teriak Herman, pinggulnya menekan kuat diiringi semburan panas dari kontolnya membuatku meraih orgasme yang membuat tubuhku mengejang.
***†***
“Apa, kamu hamil? Anak kurang ajar, bikin malu orang tua...!” teriak ayahku marah, sebuah tamparan mendarat telak di pipiku yang halus membuatku terpelanting jatuh.
“Ayah, jangan...!” teriak Ibuku berusaha menghalangi ayahku yang akan kembali menamparku.
Aku menangis terisak isak, kejadian 7 minggu yang lalu di rumah Dona membuatku hamil. Aku tidak menyangka, ayahku akan semarah ini. Tadinya aku berharap, ayah akan menmaksa salah satu diantara tiga temanku yang sudah menikmati memekku dan menumpahkan pejuh mereka di memekku untuk bertanggung jawab
“Pergi kamu anak jadah dan jangan pernah kembali ke rumah ini...!” teriak ayahku seperti bunyi petir yang menyambar tubuhku. Aku terpaku, menatap ibu, meminta pertolongan darinya, tapi gelengan lemah ibu membuatku sadar, ibu tidak pernah berani menentang keputusan ayah.
Setelah berkemas, aku meninggalkan rumah dengan membawa uang pemberian ibu, uang terahir yang aku terima darinya. Sesampainya di halte bus aku terdiam tidak tahu harus pergi ke mana, tanpa dapat kutahan, aku menangis terisak isak. Tangisanku menarik perhatian seorang ibu yang kebetulan sedang menunggu bus.
“Ada apa, nak? Mungkin ibu bisa membantu.!” Kata wanita paruh baya itu bertanya dengan suara lembut membuat tangisanku semakin kencang, meratapi penderitaanku.
Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

328