Bab 7
by Raessyyy
17:34,Aug 07,2023
Aku menatap Leo yang tengah asik dengan handphone-nya. Leonardo William, dia adalah pacarku selama setahun ini dan perlu ku garis bawahi bahwa aku sudah tidak mencintainya.
Sejak bisa membaca pikiran orang, aku menjadi ilfeel melihatnya. Jujur saja Leo tampan, baik, dan perhatian. Akan tetapi di samping itu, dia telah menyelingkuhi ku sebanyak sepuluh kali.
Dari mana aku mengetahuinya? Tentu saja dari pikirannya sendiri yang membicarakan hal mesum tentang wanita lain.
"Shit, Sasa sexy banget, Nat kalah jauh! Badannya mulus dan montok. Lebih baik aku dm sebelum dia memiliki pacar, lumayan untuk koleksi," pikirnya yang membuatku mual.
Bukannya cemburu, aku malah merasa eneg mendengarnya. Dalam sehari saja dia bisa mengencani lebih dari dua wanita, aku benar-benar jijik.
Dan alasan aku belum memutuskannya adalah karena aku tidak mau dia senang begitu saja. Bukankah lebih seru jika balas dendam? Entah bagaimana caranya, aku pun belum memikirkannya.
Yang pasti akan ku buat dia menyesal sejadi-jadinya, kalau bisa sampai menangis darah di hadapanku. Astaga, melihatnya saja sudah membuat tensiku naik.
Mataku menatapnya jenuh dan ingin cepat-cepat pergi dari sini. Padahal dia sedang duduk berdua denganku, akan tetapi pikirannya tetap kepada wanita lain.
Entah apa yang ku pikirkan dulu hingga menerimanya. Sepertinya aku sudah gila.
Merasakan tatapan intens, Leo menatapku balik dan tersenyum. Senyumnya yang seperti itu dulu terlihat manis di mataku, sekarang tidak lagi.
Jangankan untuk baper, yang ada aku malah ingin mencabik-cabik wajahnya itu hingga tidak kepedean lagi.
Leo menaruh handphone-nya dan memegang tanganku di atas meja. Dengan lembut, dia mengusapnya.
"Nat sayang, kau tidak makan?" tanyanya dengan alis naik, bertanya.
Dengan cepat, aku melepaskan genggamannya dan membersihkan telapak tanganku. Sebagai jawaban, aku hanya menggeleng, tidak peduli.
Aku mengalihkan kepalaku ke arah lain, tidak mau menatapnya. Yang Leo tahu, aku marah karena melihatnya berjalan dengan wanita lain. Padahal tidak hanya itu.
Dia tidak hanya sekadar kencan ataupun makan bersama, Leo sudah sex dengan banyak wanita. Itu yang membuatnya semakin menjijikkan di mataku.
"Kau masih ngambek, sayang? Bukankah sudah ku jelaskan bahwa Cassie hanya sepupu ku? Ayolah, tidak mungkin aku berpaling darimu, Nat," bujuknya, meyakinkanku.
Perkataannya terdengar sangat tulus dengan matanya yang menatapku sayu. Kalau saja aku tidak dapat membaca pikirannya, sudah pasti aku akan terjatuh lagi untuk yang kesekian kalinya.
"Ribet banget sih ini cewek, dikit dikit marah. Kalau saja bukan karena aku belum menyentuhnya, tidak sudi aku memohon seperti ini. Udah miskin, gatau diri lagi, ew," lanjutnya dalam otak kecilnya itu.
Sebisa mungkin aku menjaga ekspresi ku tetap datar agar Leo tidak mengetahuinya. Semua ejekan dan hinaannya sudah ku dengar semua.
Apa aku sakit hati? Ya, pada awalnya. Aku menyesal sudah menangisi Leo selama dua hari ini, seharusnya aku langsung saja membunuhnya.
Semua perilakunya palsu dan itu semua tidak terlihat di wajahnya. Dia memang paling cocok berakting, rasanya aku ingin bertepuk tangan untuk skillnya yang satu itu.
"Baiklah, maaf aku salah paham pada sepupu mu, aku tidak tahu kau memiliki banyak sepupu, Le. Kurasa ini sudah ke lima kalinya kau tidak mengenalkanku pada sepupu mu, aku hanya sedikit kecewa karena itu saja, maafkan aku," ucapku dengan senyum yang dipaksakan.
Walaupun aku berkata se sarkas itu, Leo tidak mungkin menyadarinya. Dia masih menganggapku sebagai wanita bodoh yang bisa dibohongi setiap waktu.
Pada kenyataannya, dia lah yang bodoh dengan memberikan alasan yang sama setiap jalan bersama wanita lain. Bahkan telingaku rasanya pengang mendengarnya.
Leo kembali tersenyum mendengar ucapanku, matanya menyipit dan tangannya yang bebas mengelus kepalaku.
"Aku akan mengenalkannya, Nat. Apa kau mau ke rumahku hari ini? Di sana sedang banyak sepupu ku, sekalian makan malam lah bersamaku," ajaknya dengan persuasif.
Ucapannya terdengar sangat lembut, membuatku yakin dia memiliki niat buruk di dalamnya. Entah mengapa aku menjadi trust issue pada setiap perkataannya.
Leo tidak sebaik penampilannya dan aku baru menyadari hal itu.
"Rumahku sedang sepi, memang pilihan bagus menjebak Nat di sana. Apa aku harus mengajak teman-temanku juga? Mereka pasti senang mendapatkan daun muda yang masih perawan, aku akan mendapatkan banyak duit."
Bulu kudukku merinding hanya dengan mendengarkan pikirannya. Leo sudah gila! Bukan hanya ingin memperkosaku, dia juga ingin menikmati ku bersama teman-temannya.
Untuk kali ini, aku sangat bersyukur dengan kekuatan ku. Kalau saja tidak mengetahui niatnya, pasti aku sudah terjebak dalam bualannya itu.
Leo adalah orang yang sangat keras, dia tidak mau menerima penolakan. Itulah yang membuatku takut padanya, dia bisa saja bertindak kasar demi memaksaku.
Aku harus buru-buru mencari ide kabur darinya.
Meneguk ludah kasar, tidak dapat ditutupi tanganku bergetar dibuatnya. Membayangkan apa yang akan terjadi hari ini membuat pikiranku kosong.
"A-aku harus bekerja setelah ini, kau tahu kan aku pulang lembur? Sepertinya ti-tidak bisa, Le," ucapku terbata-bata.
Wajahnya tampak mengeras dengan mata yang menatapku tajam. Kalau sudah seperti ini tandanya Leo tidak ingin dibantah. Aku terlalu mengenalnya hingga terasa semakin memuakkan.
Tangannya menggenggam tanganku lagi, bedanya kali ini dia sedikit mencengkramnya seakan tidak menerima penolakan.
"Aku akan menjemputmu setelah kerja. Tidak apa malam juga, aku akan menunggumu!" tegasnya tidak ingin ada bantahan lagi.
Ucapannya itu malah membuatku semakin bergetar ketakutan.
Tidak ada teman yang bisa ku minta tolong ataupun keluarga. Ayah dan ibu berada jauh dari kampus ku sekarang, sial aku jadi menyesali kenapa merantau sejauh ini.
Di pikiranku hanya terdapat satu orang, laki-laki yang menggangguku beberapa hari ini. Alex. Sepertinya tidak ada pilihan lain selain meminta bantuannya.
Karena itulah saat jam pulang kuliah begini, bukannya langsung ke tempat kerja, aku malah mencegat Alex yang akan pulang.
Seperti biasanya, dia tampak dingin dan tidak tersentuh. Wajahnya datar dengan aura yang tidak main-main, seakan menyuruhku menjauh.
Namun, ada hal yang lebih penting dibanding menjauhinya. Aku harus meminta pertolongan Alex.
Dengan tidak tahu malunya, aku menarik Alex, menghindari kerumunan. Yang paling penting adalah Leo tidak mengetahuinya, bisa bahaya jika dia melihatku dengan pria lain.
Banyak hal licik yang pria itu pikirkan, aku harus lebih berhati-hati sekarang.
Untungnya Alex pasrah dan membiarkanku menariknya, seperti anjing jinak yang mengikuti majikannya. Walaupun masih ku lihat kilat tajam matanya yang menatapku.
"Ada apa?" tanyanya tanpa basa basi. Suaranya terdengar sangat cuek dan tidak ingin berlama-lama denganku.
Entah ini perasaanku saja atau Alex memang tengah marah, tumben sikapnya berbeda.
Tanpa pedulikan hal itu, ku teruskan niatku menemuinya.
"Aku ingin meminta bantuanmu, Al---" ucapku terpotong karena tiba-tiba saja telunjuknya sudah berada di bibir, menahanku berbicara. Sontak aku mengerut bingung.
Sebelah lengan Alex mengambil tanganku lembut dan menaruhnya di rambut. Dengan gerakan perlahan, Alex mengelus kepalanya menggunakan tanganku.
Bibirnya mengerucut dengan alis bertaut seperti tengah merajuk. Telinga kucingnya perlahan muncul dan tampak turun. Matanya sayu dan terlihat binar kesedihan di sana.
Menggigit bibir dalam, aku menahan diri untuk tidak mencubit pipinya yang mengembung itu. Sejak kapan Alex se imut ini?
Ditambah dengan ucapannya yang membuat jantungku berdebar, rasanya sudah lama aku tidak merasakan se gugup ini berduaan dengan seorang pria, selain Leo.
"Sst jangan katakan apapun, aku sedang cemburu. Aku merasa marah, sedih, dan campur aduk karena mu. Kau selingkuh dariku, sayang, aku tidak menyukainya. Karena itu peluk aku! Aku ingin dipeluk olehmu, please,"
Sejak bisa membaca pikiran orang, aku menjadi ilfeel melihatnya. Jujur saja Leo tampan, baik, dan perhatian. Akan tetapi di samping itu, dia telah menyelingkuhi ku sebanyak sepuluh kali.
Dari mana aku mengetahuinya? Tentu saja dari pikirannya sendiri yang membicarakan hal mesum tentang wanita lain.
"Shit, Sasa sexy banget, Nat kalah jauh! Badannya mulus dan montok. Lebih baik aku dm sebelum dia memiliki pacar, lumayan untuk koleksi," pikirnya yang membuatku mual.
Bukannya cemburu, aku malah merasa eneg mendengarnya. Dalam sehari saja dia bisa mengencani lebih dari dua wanita, aku benar-benar jijik.
Dan alasan aku belum memutuskannya adalah karena aku tidak mau dia senang begitu saja. Bukankah lebih seru jika balas dendam? Entah bagaimana caranya, aku pun belum memikirkannya.
Yang pasti akan ku buat dia menyesal sejadi-jadinya, kalau bisa sampai menangis darah di hadapanku. Astaga, melihatnya saja sudah membuat tensiku naik.
Mataku menatapnya jenuh dan ingin cepat-cepat pergi dari sini. Padahal dia sedang duduk berdua denganku, akan tetapi pikirannya tetap kepada wanita lain.
Entah apa yang ku pikirkan dulu hingga menerimanya. Sepertinya aku sudah gila.
Merasakan tatapan intens, Leo menatapku balik dan tersenyum. Senyumnya yang seperti itu dulu terlihat manis di mataku, sekarang tidak lagi.
Jangankan untuk baper, yang ada aku malah ingin mencabik-cabik wajahnya itu hingga tidak kepedean lagi.
Leo menaruh handphone-nya dan memegang tanganku di atas meja. Dengan lembut, dia mengusapnya.
"Nat sayang, kau tidak makan?" tanyanya dengan alis naik, bertanya.
Dengan cepat, aku melepaskan genggamannya dan membersihkan telapak tanganku. Sebagai jawaban, aku hanya menggeleng, tidak peduli.
Aku mengalihkan kepalaku ke arah lain, tidak mau menatapnya. Yang Leo tahu, aku marah karena melihatnya berjalan dengan wanita lain. Padahal tidak hanya itu.
Dia tidak hanya sekadar kencan ataupun makan bersama, Leo sudah sex dengan banyak wanita. Itu yang membuatnya semakin menjijikkan di mataku.
"Kau masih ngambek, sayang? Bukankah sudah ku jelaskan bahwa Cassie hanya sepupu ku? Ayolah, tidak mungkin aku berpaling darimu, Nat," bujuknya, meyakinkanku.
Perkataannya terdengar sangat tulus dengan matanya yang menatapku sayu. Kalau saja aku tidak dapat membaca pikirannya, sudah pasti aku akan terjatuh lagi untuk yang kesekian kalinya.
"Ribet banget sih ini cewek, dikit dikit marah. Kalau saja bukan karena aku belum menyentuhnya, tidak sudi aku memohon seperti ini. Udah miskin, gatau diri lagi, ew," lanjutnya dalam otak kecilnya itu.
Sebisa mungkin aku menjaga ekspresi ku tetap datar agar Leo tidak mengetahuinya. Semua ejekan dan hinaannya sudah ku dengar semua.
Apa aku sakit hati? Ya, pada awalnya. Aku menyesal sudah menangisi Leo selama dua hari ini, seharusnya aku langsung saja membunuhnya.
Semua perilakunya palsu dan itu semua tidak terlihat di wajahnya. Dia memang paling cocok berakting, rasanya aku ingin bertepuk tangan untuk skillnya yang satu itu.
"Baiklah, maaf aku salah paham pada sepupu mu, aku tidak tahu kau memiliki banyak sepupu, Le. Kurasa ini sudah ke lima kalinya kau tidak mengenalkanku pada sepupu mu, aku hanya sedikit kecewa karena itu saja, maafkan aku," ucapku dengan senyum yang dipaksakan.
Walaupun aku berkata se sarkas itu, Leo tidak mungkin menyadarinya. Dia masih menganggapku sebagai wanita bodoh yang bisa dibohongi setiap waktu.
Pada kenyataannya, dia lah yang bodoh dengan memberikan alasan yang sama setiap jalan bersama wanita lain. Bahkan telingaku rasanya pengang mendengarnya.
Leo kembali tersenyum mendengar ucapanku, matanya menyipit dan tangannya yang bebas mengelus kepalaku.
"Aku akan mengenalkannya, Nat. Apa kau mau ke rumahku hari ini? Di sana sedang banyak sepupu ku, sekalian makan malam lah bersamaku," ajaknya dengan persuasif.
Ucapannya terdengar sangat lembut, membuatku yakin dia memiliki niat buruk di dalamnya. Entah mengapa aku menjadi trust issue pada setiap perkataannya.
Leo tidak sebaik penampilannya dan aku baru menyadari hal itu.
"Rumahku sedang sepi, memang pilihan bagus menjebak Nat di sana. Apa aku harus mengajak teman-temanku juga? Mereka pasti senang mendapatkan daun muda yang masih perawan, aku akan mendapatkan banyak duit."
Bulu kudukku merinding hanya dengan mendengarkan pikirannya. Leo sudah gila! Bukan hanya ingin memperkosaku, dia juga ingin menikmati ku bersama teman-temannya.
Untuk kali ini, aku sangat bersyukur dengan kekuatan ku. Kalau saja tidak mengetahui niatnya, pasti aku sudah terjebak dalam bualannya itu.
Leo adalah orang yang sangat keras, dia tidak mau menerima penolakan. Itulah yang membuatku takut padanya, dia bisa saja bertindak kasar demi memaksaku.
Aku harus buru-buru mencari ide kabur darinya.
Meneguk ludah kasar, tidak dapat ditutupi tanganku bergetar dibuatnya. Membayangkan apa yang akan terjadi hari ini membuat pikiranku kosong.
"A-aku harus bekerja setelah ini, kau tahu kan aku pulang lembur? Sepertinya ti-tidak bisa, Le," ucapku terbata-bata.
Wajahnya tampak mengeras dengan mata yang menatapku tajam. Kalau sudah seperti ini tandanya Leo tidak ingin dibantah. Aku terlalu mengenalnya hingga terasa semakin memuakkan.
Tangannya menggenggam tanganku lagi, bedanya kali ini dia sedikit mencengkramnya seakan tidak menerima penolakan.
"Aku akan menjemputmu setelah kerja. Tidak apa malam juga, aku akan menunggumu!" tegasnya tidak ingin ada bantahan lagi.
Ucapannya itu malah membuatku semakin bergetar ketakutan.
Tidak ada teman yang bisa ku minta tolong ataupun keluarga. Ayah dan ibu berada jauh dari kampus ku sekarang, sial aku jadi menyesali kenapa merantau sejauh ini.
Di pikiranku hanya terdapat satu orang, laki-laki yang menggangguku beberapa hari ini. Alex. Sepertinya tidak ada pilihan lain selain meminta bantuannya.
Karena itulah saat jam pulang kuliah begini, bukannya langsung ke tempat kerja, aku malah mencegat Alex yang akan pulang.
Seperti biasanya, dia tampak dingin dan tidak tersentuh. Wajahnya datar dengan aura yang tidak main-main, seakan menyuruhku menjauh.
Namun, ada hal yang lebih penting dibanding menjauhinya. Aku harus meminta pertolongan Alex.
Dengan tidak tahu malunya, aku menarik Alex, menghindari kerumunan. Yang paling penting adalah Leo tidak mengetahuinya, bisa bahaya jika dia melihatku dengan pria lain.
Banyak hal licik yang pria itu pikirkan, aku harus lebih berhati-hati sekarang.
Untungnya Alex pasrah dan membiarkanku menariknya, seperti anjing jinak yang mengikuti majikannya. Walaupun masih ku lihat kilat tajam matanya yang menatapku.
"Ada apa?" tanyanya tanpa basa basi. Suaranya terdengar sangat cuek dan tidak ingin berlama-lama denganku.
Entah ini perasaanku saja atau Alex memang tengah marah, tumben sikapnya berbeda.
Tanpa pedulikan hal itu, ku teruskan niatku menemuinya.
"Aku ingin meminta bantuanmu, Al---" ucapku terpotong karena tiba-tiba saja telunjuknya sudah berada di bibir, menahanku berbicara. Sontak aku mengerut bingung.
Sebelah lengan Alex mengambil tanganku lembut dan menaruhnya di rambut. Dengan gerakan perlahan, Alex mengelus kepalanya menggunakan tanganku.
Bibirnya mengerucut dengan alis bertaut seperti tengah merajuk. Telinga kucingnya perlahan muncul dan tampak turun. Matanya sayu dan terlihat binar kesedihan di sana.
Menggigit bibir dalam, aku menahan diri untuk tidak mencubit pipinya yang mengembung itu. Sejak kapan Alex se imut ini?
Ditambah dengan ucapannya yang membuat jantungku berdebar, rasanya sudah lama aku tidak merasakan se gugup ini berduaan dengan seorang pria, selain Leo.
"Sst jangan katakan apapun, aku sedang cemburu. Aku merasa marah, sedih, dan campur aduk karena mu. Kau selingkuh dariku, sayang, aku tidak menyukainya. Karena itu peluk aku! Aku ingin dipeluk olehmu, please,"
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved