Kimberlie berlari dengan linangan air mata, bukan tidak suka dicium oleh suaminya sendiri. Tapi, bagaimana sih rasanya dicium oleh pria yang mencintai orang lain? Walau sangat menginginkannya dan begitu mendamba tapi tetap saja ‘hancur’. Kimberlie berlari menuju keruangan pribadinya menggunakan tangga darurat agar tidak menjadi pusat perhatian banyak orang. Mengapa begitu banyak drama yang di lalui oleh Kimberlie hari ini. “Ada apa Nona Kim?” Mathew datang dengan membawa sapu tangan dan memberikannya kepada Kimberlie. Tahun segini, ternyata masih ada menyimpan sapu tangan di saku kemejanya, perlakuan klasik yang manis. “Aku tidak apa-apa Mathew, apakah kau sudah memakan nasi goreng buatanku?” Kimberlie segera menyeka air matanya dan mencuci wajahnya di wastafel ruangan tersebut. Tidak lupa juga Ia memoles kembali bedak dan make up yang lebih menor dari sebelumnya. Bukan untuk mencari perhatian agar terlihat lebih cantik, sungguh bukan. Polesan ini sengaja untuk menutup wajah sembabnya dan untunglah, tangan lihai itu berhasil menjadikannya terlihat kembali segar, walau jika diperhatikan matanya masih terlihat merah. “Yah sudah kalau tidak mau cerita, mungkin suatu saat jika Nona sudah percaya kepadaku, datanglah, dengan senang hati saya akan menjadi pendengar yang baik.” Kimberlie terkekeh mendengar penawaran yang luar biasa itu. “Jangan memanggilku dengan sebutan formal Mathew, biasakan untuk memanggil namaku, aku tidak ingin kau keceplosan saat kita ada di luar sana,” terang Kimberlie lalu berjalan menuju keluar ruangan dan masuk kedalam lift sambil mengangguk sejenak kepada Mathew lalu tersenyum. Dari jauh Kimberlie bisa menatap wajah tidak suka dari beberapa teman-temannya, terutama Santy. Entahlah, sejak awal bahkan sebelum mengenal Kimberlie saja rasanya ada sesuatu dari tatapan Santy yang seolah, ingin menguburkan wajah Kimberlie kedalam dasar laut hingga tak akan pernah muncul kepermukaan lagi. “Mohon maaf Kak Santy, saya tadi masih mengukur pakaian say