Bab 8 Memberi Perhitungan!

by Guddy Two 17:35,Jul 04,2025


Panik! Dia benar-benar panik!

Namun, Julian malah bersukacita dan berkata, "Yang Mulia Ayah Mertua, meskipun saya mati dicambuk, saya tetap tidak mau belajar! Apa yang diajarkan oleh Pak Tua itu, anak umur delapan tahun pun bisa memahaminya! Pokoknya sekalipun dihajar sampai mati, saya tetap tidak mau belajar! "

Jaeven pun juga melontarkan kata-kata tajam, "Yang Mulia, si bodoh ini sudah berulang kali mempermalukan saya. Jika sampai tersebar ke luar, nama baik saya akan rusak! Daripada terus seperti ini, lebih baik saya mengundurkan diri. Saya harap Yang Mulia bisa mengabulkannya!"

"Kenapa kalian masih diam saja? Seret si bodoh itu ke luar dan cambuk sekeras-kerasnya! Kalian nggak perlu menahan diri!"

Seketika itu juga, empat pengawal langsung melangkah maju, menyeret Julian ke halaman, lalu menekannya ke lantai.

Julian berpikir ayah mertuanya yang "Murah hati" itu pasti tidak akan benar-benar memukulnya. Ini semua hanya formalitas saja.

Nanti dia tinggal berpura-pura sakit dan istirahat di rumah. Membayangkannya saja sudah membuatnya senang.

"Tuan Jaeven, lihat baik-baik, bagaimana aku membela kehormatanmu!"

Cassian benar-benar naik pitam dan berseru, "Julian! Kalau sekarang kamu minta maaf pada Tuan Jaeven, hukuman cambuk ini akan kuhapuskan!"

"Tidak mau! Siapa pun yang tunduk, dialah orang bodoh yang sesungguhnya!"

Cassian tertawa karena marah,lalu berkata, "Cambuk dia! Tambah dua puluh cambukan lagi!"

Begitu perintah itu diucapkan, cambuk langsung menghantam udara dan mendarat di pantat Julian.

Plak!

"Ahhh!"

Baru satu kali cambukan dan Julian sudah menjerit kesakitan.

Astaga! Ternyata ayah mertuanya yang murah hati tidak sedang bercanda!

Jika sampai dihajar empat puluh cambukan, bukankah nyawanya bisa melayang?

"Saya tidak terima! Bahkan anjing yang dia latih pun tidak bisa belajar, saya benar-benar tidak terima, tidak terima … "

Suara cambukan menghantam pantat Julian bertubi-tubi, sehingga membuatnya menjerit-jerit tanpa henti.

Elliot segera berlari mendekat dan berdiri di belakang Julian untuk melindunginya. Para pengawal tidak sempat menarik tangan mereka dan bahkan satu cambukan sempat mengenai tubuhnya, sehingga membuat Elliot meringis kesakitan.

"Elliot, apa yang kamu lakukan?!"

"Ayah, Julian memang anak yang keras kepala dan pikirannya sangat sempit. Sekali dia menetapkan sesuatu, bahkan jika dipukul sampai mati pun dia tetap tidak akan berubah pikiran!"

Elliot menahan rasa sakit di tumbuhnya, lalu melanjutkan, "Ayah, saya mohon, demi menghargai Kakak Ketujuh, tolong ampunilah dia!"

Julian pun terlihat bingung.

Kenapa Elliot terus-menerus melindunginya?

Jangan-jangan ada sesuatu yang tersembunyi di balik "Insiden sang putri" ini!

Dia jelas tidak bisa terus-menerus menerima cambukan ini. Dia memang mau pura-pura sakit, tetapi jangan sampai benar-benar terluka.

Cassian pun tahu Putra Kedelapannya sangat akrab dengan Julian, sehingga amarahnya pun mulai mereda. "Cepat minta maaf pada Tuan Jaeven dan bersumpahlah untuk tidak akan membuat keributan lagi, maka aku akan memaafkanmu!"

"Julian, Ayah sedang marah. Kalau kamu nggak mau pantatmu dicambuk lagi, cepat minta maaf!" kata Elliot.

Minta maaf? Selama dia masih hidup, Julian tidak pernah mau melakukan hal itu!

Dia adalah orang yang suka menyimpan dendam!

Kemarin, Jaeven mengusirnya dari Istana Dominion dan hari ini dia mengulanginya lagi.

Setelah berpikir sejenak, dia berpura-pura polos dan berkata, "Yang Mulia Ayah Mertua, saya benar-benar tidak berbohong. Bahkan anjing pun tidak bisa belajar dari Pak Tua itu. Jika mendengar pelajarannya, otak saya bisa jadi benar-benar bodoh!"

Jaeven yang berdiri di samping langsung membentak dengan marah, "Julian! Kalau kamu memang meremehkan pelajaran aritmetika yang aku ajarkan, maka aku akan memberikan beberapa soal untukmu! Kalau kamu bisa menjawab semuanya, mulai hari ini kamu bisa melakukan apa saja dan nggak usah datang ke kelasku lagi! Bahkan kalau datang cuma untuk tidur sekalipun, aku nggak akan banyak bicara!"

"Pak Tua, kamu serius dengan perkataanmu, kan?"

Julian mendorong Elliot, lalu dengan susah payah memakai kembali celananya meski masih kesakitan. Luka bekas cambukan yang bersentuhan dengan kain membuatnya nyaris menangis karena rasa perih yang menyiksa!

"Yang Mulia jadi saksinya!"

"Baik. Yang Mulia Ayah Mertua, tolong jadilah saksi atas permainan ini. Jika saya bisa menjawab, saya tidak perlu datang lagi ke Akademi Kekaisaran, kan?"

Sialan! Kalau dari tadi caranya semudah ini, untuk apa dia harus capek-capek memancing kemarahan Cassian?

Cassian sendiri tidak percaya Julian bisa menjawab, jadi dia hanya mengangguk dan berkata, "Oke, aku akan jadi saksinya. Tapi, kalau kamu nggak bisa menjawab, kamu harus minta maaf pada Tuan Jaeven dan berjanji untuk ikut pelajaran dengan benar. Setuju?"

Dia benar-benar dibuat pusing oleh anak satu ini!

Jika bukan Julian, menantu mana yang berani bertingkah seperti ini di depannya? Jika ada yang berani bersikap seperti itu, sudah pasti dia akan langsung mengusirnya.

Selain itu, orang-orang yang bertemu dengannya pasti akan langsung gemetar ketakutan dan tidak akan berani bersikap macam-macam.

Anehnya, setiap kali Julian memanggilnya "Yang Mulia Ayah Mertua", dia malah merasa seperti benar-benar memiliki hubungan dekat sebagai keluarga.

"Baik! Tidak masalah!"

Julian menepuk dadanya dengan penuh percaya diri.

Di sisi lain, Elliot sampai menutup wajahnya. Dari mana si bodoh ini mendapatkan rasa percaya diri sebesar itu?

Sementara itu, orang-orang lain yang ada di sana hanya bisa menggeleng pelan. Ini benar-benar akan jadi tontonan yang memalukan!

Jaeven menyeringai dingin, lalu berkata, "Hari ini ada satu soal tentang ayam dan kelinci dalam satu kandang. Jumlah kepalanya tiga puluh lima, jumlah kakinya sembilan puluh empat. Coba sebutkan masing-masing ada berapa ekor? Itu soal yang aku tinggalkan hari ini. Apa kamu bisa menjawabnya?"

"Kalau punya otak, bukankah soal seperti itu sangat mudah untuk diselesaikan?"

Julian mendengus meremehkan.

Semua orang langsung terdiam. Julian tidak terlalu cerdas, tetapi gaya bicaranya benar-benar sangat sombong.

Padahal dari ratusan murid di Akademi Kekaisaran, belum ada satu pun yang bisa menjawab soal itu!

Cassian pun diam-diam menggelengkan kepalanya. Bahkan dia pun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan soal seperti itu.

Ilmu hitung sangat bermanfaat jika dikuasai dengan baik, tetapi di seluruh negeri ini, hanya ada sedikit orang yang benar-benar menguasainya dan kebetulan Jaeven adalah salah satunya.

Dengan adanya dia yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan negara, Cassian pun merasa sangat tenang.

"Aku beri kamu waktu setengah jam. Kalau kamu bisa menjawab dengan benar … "

"Setengah jam? Apa menjawab soal itu perlu waktu selama itu?"

Julian menatapnya dengan wajah meremehkan, lalu berkata, "Apa kamu kira aku sebodoh itu?"

Jaeven menggertakkan giginya dan berkata, "Kalau begitu, coba sebutkan jawabannya!"

"Ayamnya ada 23 ekor dan kelincinya ada 12 ekor!" jawab Julian dengan suara lantang.

Jaeven langsung terpaku di tempat. "Ka-Kamu ... apa kamu sudah mencuri lihat jawabannya?"

Dia menoleh ke arah para murid lain dan bertanya, "Apa kalian sudah menyelesaikannya?"

Allen dan yang lainnya secara refleks langsung menggelengkan kepala mereka.

Apakah itu artinya jawaban Si Bodoh Julian itu benar?

Cassian menoleh ke arah Jaeven dan berkata, "Tuan Jaeven, apa jawaban Si Bodoh Julian benar?"

Wajah Jaeven dipenuhi rasa malu saat dia berkata, "Benar, Yang Mulia."

Cassian pun tertegun.

Para murid di Akademi Kekaisaran malah tampak lebih tidak percaya lagi.

Astaga! Tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil menjawabnya.

Namun, Julian justru langsung menyebutkan jawabannya tanpa berpikir lama.

Selain itu, jawabannya bahkan benar!

Apakah mereka semua bahkan tidak lebih pintar dari si bodoh itu?!

Seketika itu juga, Elliot berkata dengan raut wajah tak percaya, "Julian, kamu … bagaimana caranya kamu tahu jawabannya?"

Julian tertawa dengan wajah polos dan menjawab, "Tentu saja karena aku mengandalkan otakku!"

Wajah tua Jaeven langsung memerah karena malu dan dia merasa tidak percaya si Bodoh Julian benar-benar bisa menghitung soal seperti itu. "Sekarang ada tembok setebal 1,65 meter, dua ekor tikus menggali dari sisi berlawanan. Tikus besar menggali 0,33 meter per hari, begitu juga tikus kecil. Tikus besar menggali dua kali lipat dari hari sebelumnya, sementara tikus kecil menggali separuh dari hari sebelumnya. Pertanyaannya, mereka akan bertemu pada hari keberapa? Dan masing-masing sudah menggali sejauh mana?"

Secara umum, soal itu mengatakan ada sebuah tembok setebal 1,65 meter dan dua ekor tikus menggali dari dua arah menuju bagian tengah secara bersamaan.

Tikus besar menggali 0,33 meter di hari pertama, begitu juga dengan tikus kecil.

Tiap hari, tikus besar melipatgandakan kecepatannya dibanding hari sebelumnya, sedangkan tikus kecil hanya menggali separuh dari kecepatan hari sebelumnya.

Pertanyaannya adalah, pada hari keberapa mereka akan bertemu dan masing-masing sudah menggali sejauh mana saat itu?

Semua orang di ruangan langsung menarik napas dengan penuh keterkejutan.

Soal ini terlalu sulit!

Beberapa orang mulai menghitung dengan jari, tetapi makin dihitung malah makin membuat mereka bingung.

Mereka sama sekali tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya.

Bahkan Cassian diam-diam ikut mengernyitkan keningnya. Bukankah soal ini terlalu rumit?

Otak Elliot pun sudah seperti benang kusut. "Si bodoh ini, soal ini … "

"Cih! Aku kira kamu bisa memberikan soal yang lebih sulit! Soal ini terlalu mudah bagiku. Apa kamu sedang meremehkanku?"

Julian mendengus dan berkata, "Dua tikus itu akan bertemu dalam waktu tiga hari. Tikus besar menggali sejauh 1,15 meter dan tikus kecil menggali 0,01 meter!"

"Aku sudah menjawab soalnya. Jadi, sekarang aku boleh keluar dari tempat ini, kan?"

Semua orang yang mendengar jawaban Julian hanya bisa melongo dalam kebingungan.

Sementara itu, Jaeven seakan disiram dengan air es. "Nggak mungkin … ini nggak mungkin … bagaimana bisa seperti ini … "


Unduh App untuk lanjut membaca